Kamis, 27 Agustus 2009

Qishas


”… Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya [Ahli waris], hendaklah yang mema’afkan mengikuti dengan cara yang baik dan yang diberi ma’af membayar diyat kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat…” (QS Al Baqarah : 178)

Allah swt yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, telah melarang hamba-hamba-Nya untuk melakukan perbuatan buruk (Fasiq) dan telah menetapkan balasan bagi pelakunya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Salah satu bentuk balasan atas perbuatan buruk, dalam hal ini Jinayat, adalah Qishash. Menurut pengertian syara’ qishash ialah balasan (pemberian hukuman) yang diberikan kepada pelaku Jinâyât sesuai dengan perbuatan atau pelanggaran yang telah dilakukan. Pembunuhan sendiri diklasifikasi menjadi empat jenis di antaranya:


1. Pembunuhan sengaja;

2. Pembunuhan seperti disengaja;

3. Pembunuhan tidak sengaja;

4. Pembunuhan karena ketidaksengajaan.

Pada kasus pembunuhan sengaja, pihak wali korban boleh memilih antara qishash atau memaafkan dengan mengambil diyat, atau menyedekahkan diyatnya. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan, ia wajib membayar diyat sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di antaranya telah bunting.
Sanksi pembunuhan mirip sengaja (syibh al-’amad) adalah diyat 100 ekor unta, dan 40 ekor di antaranya bunting.
Adapun pembunuhan tidak sengaja (khatha’) diklasifikasi menjadi dua macam: (1) Seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, namun tanpa sengaja ternyata mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, ada orang memanah burung, namun terkena manusia hingga mati. (2) Seseorang yang membunuh orang yang dikiranya kafir harbi di dâr al-kufr, tetapi ternyata orang yang dibunuhnya itu telah masuk Islam. Pada jenis pembunuhan pertama, sanksinya adalah membayar diyat 100 ekor unta dan membayar kafarah dengan cara membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak, pelaku harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Dalam kasus kedua, sanksinya adalah membayar kafarah saja, dan tidak wajib diyat.
Sanksi untuk pembunuhan karena ketidaksengajaan adalah diyat 100 ekor onta dan membebaskan budak. Jika tidak ada budak, wajib berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
Adapun jinâyat terhadap organ tubuh, baik terhadap organ tubuh maupun tulang, sanksinya adalah diyat. Tidak ada qishash untuk penyerangan terhadap organ tubuh maupun tulang secara mutlak, kecuali pada kasus penyerangan terhadap gigi, dan kasus jarh (pelukaan di badan). Hanya saja, kasus penyerangan gigi atau jarh bisa saja dikenai diyat. Lalu kapan pada kasus penyerangan terhadap gigi dikenai qishash dan kapan dikenai diyat saja? Menurut fukaha, jika penyerangannya secara sengaja, dikenai hukuman qishash; sedangkan jika tidak sengaja, dikenai diyat yang besarnya telah ditetapkan di dalam as-Sunnah. Jika orang yang dilukai tidak meminta qishash, pelaku penyerangan hanya wajib membayar diyat. Dalam kasus penyerangan pada kepala (asy-syijaj), sanksinya hanyalah diyat, dan tidak ada qishash.
Kadar diyat atas penyerangan badan dan kepala ada yang telah ditetapkan di dalam as-Sunnah, ada pula yang belum ditetapkan. Jika telah ditetapkan dalam as-Sunnah, diyatnya sesuai dengan apa yang disebut; misalnya pada kasus jaifah dan pelukaan terhadap kelamin anak perempuan yang masih kecil. Adapun kasus penyerangan terhadap badan yang kadar diyat-nya tidak disebutkan oleh as-Sunnah, maka sanksinya adalah hukumah yang adil.


Qiyas


A.Pengertian Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan sesuatu, sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menpersamakan huhum suatau peristiwa yang tidak ada nash hukumnya ’ dengan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya, karena persamaan keduanya itu dalam illat hukumnya.


B. Rukun qiyas

1. Al-Asl, adalah malasalah yang telah ada hukumnya, bedasarkan nas, ia disebut al Maqis ’alaih ( yang diqiyaskan kepadanya ), Mahmul ’alaih( yang dijadikan pertangungan ) musyabbah bih ( yang diserupakan denganya)


2. Al Far’u, adalah masalah baru yang tidak ada nashnya atau tidak ada hukumnya, ia disebut Maqis ( yang diqiyaskan), AlMahmul) ( yang dipertanguhngkan) dan al musyabbah ( yang diserupakan )


3. Hukum Asl yaitu hukum yang telah ada pad asl (pokok) yang berdasarkan atas nash atau ijma’, ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pad al far’u( cabang).


4. Al Illat adalah suatu sifat yangada pada asl yaang padanya lah dijadikan sebagai dasr untuk menentuan hukum pokok, dan berdasarkan ada nya keberadaanya sifat itu pada cabang (far), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.Syarat-syart i’llata. Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indrab. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu’ dan tidak mudah berubahc. Merupakan sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnyad. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya , tapi bisa juaga berwujud pad beberapa satuan hukum yang bukan aslC. Kehujahhan QiyasJumhur ulama’ menerima qiyas menjadi hujjah dalam keadaan;a. Apabila hukum asl dinas-kan illahnyab. Apabila qiyas itu merupakan salah satu dari pada Qiyas-qiyas yang dilakukan RasulullahDalam dua macam ini para ulama sepakat menetapkan bahwa keduanya menjadi hujjah syari’ah, dan qiyas selain kedua tersebut para ulama bebeda pendapat ada yang menerima dan dan adapula yan menolak sebagai hujjah syari’iyyah, diantara golongan yang menolak qiyas adalah An Nazzam dari golongan Zahiriyah dan segolongan ulama Syi’ah.


Diyat


1. Hukuman Diyat ialah harta yang wjib dibayar dan diberi oleh penjinayah kepada wali atau waris mangsanya sebagai gantirugi disebabkan jinayah yang dilakukan oleh penjinayah ke atas mangsanya.
2. Hukum Diyat adalah hukuman kesalahan-kesalahan yang sehubungan yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah dan Rasulnya di dalam Quran dan Hadis sebagai ganti rugi di atas kesalahan-kesalahan yang melibatkan kecederaan anggota badan, atau melukakannya.
3. Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman diyat ialah:-
a) Pembunuhan yang serupa dengan sengaja.
b) Pembunuhan yang tersala(tidak sengaja).
c) Pembunuhan yang sengaja yang dimaafkan oleh wali atau ahli waris orang yang dibunuh. Firman Allah Taala:
Maka sesiapa(pembunuh) yang dapat sebahagian keampunan dari saudaanya (pihak yang terbunuh) maka hendaklah (orang yang mengampunkan itu) mengikut cara yag baik (dalam menuntut ganti nyawa), dan si pembunuh pula hendaklah menunaikan (bayaran ganti nyawa itu) dengan sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari tuhan kamu serta satu rahmat kemudahan. sesudah itu sesiapa yang melampaui batas (untuk membalas dendam pula) maka baginya azab yang tidak terperi sakitnya.


Kafarat


Kafarat atau tebusan disebut denda, yakni tebusan atas suatu pelanggaran aturan syari'at. Ada enam hal yang diterangkan tebusan-nya dalam syari'at Islam, yaitu:

1. Tebusan untuk pelanggaran sumpah

2. Tebusan untuk pelanggaran nadzar

3. Tebusan pembunuhan

4. Tebusan zhihar (suami, Engkau bagiku seperti punggung ibuku.)

5. Tebusan ila' (sumpah untuk tidak menggauli isteri)

6. Tebusan karena ber-jima' di siang hari bulan Ramadhan

7. Denda dalam haji.


Jika diklasifikasikan, jenis tebusan di atas dapat dibagi dua:

1. Boleh memilih: tebusan sumpah, nadzar, ila', melakukan larangan ketika haji karena sakit, membunuh binatang buruan ketika haji, ada binatang yang serupa maupun tidak ada.

2. Tidak boleh memilih: tebusan zhihar, ber-jima' di siang hari Ramadhan, membunuh, meninggalkan kewajiban haji karena sakit ketika haji, terhalang haji tamattu' dan haji qiran, dan ber-jima' sebelum tahallul awwal dalam haji.


Syarat Wajibnya Kafarat Atas Pelanggaran Sumpah

1. Sengaja mengucapkan sumpah: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja, tetapi Dia menghukum disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja (Q.S. Al-Ma'idah: 89).

2. Sumpah diucapkan atas perkara yang mungkin (terjadi) di masa yang akan datang.

3. Diucapkan atas pilihannya sendiri, seseorang yang dipaksa mengucapkan sumpah tidak dikenakan tebusan atau denda; Ummatku dimaafkan karena kekeliruan dan kelupaan serta perkara yang dipaksakan kepadanya. (HR. Ibnu Majah: (1/659), al-Hakim, shahih (2/198).))

4. Ingat. Seseorang bersumpah karena lupa, atau melanggarnya karena lupa, maka tidak dikenakan kafarat. (Asy-Syarh Al-Kabir (2/143).

5. Diucapkan dengan lisan; sumpah yang hanya dalam hati tidak dikenai sanksi. Sesungguhnya Allah I membiarkan bagi ummatku sesuatu yang dibisikkan dalam hatinya selama tidak dibicarakan dan tidak pula dilaksanakan. (HR. Al-Bukhari: (2528)

6. Terjadi pelanggaran atas sumpah.

Hudûd


Secara bahasa, hudûd berarti sesuatu yang membatasi di antara dua hal. Secara syar‘î, hudûd bermakna sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan (kadarnya) oleh syariat dan menjadi hak Allah. Di sebut hudûd karena umumnya mencegah pelakunya dari kemaksiatan serupa. Sebutan hudud dikhususkan bagi sanksi kejahatan yang didalamnya terdapat hak Allah. Hudûd hanya dijatuhkan atas tindak kejahatan berikut:

(1) zina (pelaku dirajam [jika muhshan/telah menikah] atau cambuk 100 kali [jika ghayr muhshan/belum menikah]);

(2) homoseksual/liwâth (pelaku dibunuh);

(3) qadzaf/menuduh berzina tanpa didukung 4 orang saksi (pelaku dicambuk 80 kali);

(4) minum khamar (pelaku dicambuk 40/80 kali);

(5) murtad yang tidak mau kembali masuk Islam (pelaku dibunuh);

(6) membegal/hirâbah (pelaku dibunuh jika hanya membunuh dan tidak merampas; dibunuh dan disalib jika membunuh dan merampas harta; dipotong tangan dan kaki secara bersilang jika hanya merampas harta dan tidak membunuh; dibuang jika hanya meresahkan masyarakat.

(7) memberontak terhadap Negara/bughât (pelaku diperangi dengan perang yang bersifat edukatif, yakni agar pelakunya kembali taat pada Negara, bukan untuk dihancurkan.

(8) Mencuri (pelaku dipotong tangannya hingga pergelangan tangan jika memang telah memenuhi syaratuntuk dipotong).



Sabtu, 25 Juli 2009

Ushul Fiqh

Pengertian Ushul Fiqh

Ushul Fiqh adalah : “ Ilmu yang membahas tentang dalil- dalil fiqh secara global, tentang metodologi penggunaannya serta membahas tentang kondisi orang-orang yang menggunakannya . “

Apa hubungan pengertian ushul fiqh dengan masalah kontemporer ?

1/ Ushul Fiqh sebagai model percontohan untuk melakukan riset ilmiyah .
Seseorang yang ingin memproduksi sebuah hukum syare’at, diharuskan terlebih dahulu menentukan reverensi yang ingin digunakannya. Kemudian mengolah reverensi tersebut sesuai dengan standar ilmiyah yang telah ditentukan oleh para ulama, hal itu untuk memastikan bahwa produk hukum yang dihasilkan tidak akan melenceng dari koridor syareat.
Begitu juga seorang yang ingin melakukan riset ilmiyah, diharuskan untuk menentukan dahulu reverensi yang ingin digunakannya, dan obyek yang ingin diteliti, dan apakah sumber dan obyek tersebut valid atau tidak ? Setelah itu dia harus mengolahnya secara ilmiyah dan jujur sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, sehingga hasil dari penelitian itu bisa dipastikan tidak melenceng dari koridor ilmiyah.

2/ Ushul Fiqh sebagai model percontohan untuk melakukan dialoq yang sistimatis dan bermutu.
Hal ini kita dapatkan di dalam pembahasan Qiyas dan etika dialoq yang tersusun di dalamnya dengan rapi. Dalam etika dialoq tersebut, tidak sembarang orang bisa mengeluarkan produksi hukum kecuali harus tunduk dengan teeori-teori yang telah ditetapkan di dalam Qiyas. Produk hukum yang telah dihasilkan melalui proses Qiyas tersebut, memungkinkan untuk dikritisi kembali dengan tata cara dan sisitimatis yang telah ditentukan para ulama. Intinya : tidak sembarang orang ngomong dan tidak sembarang orang mengritik omongan tersebut. Tapi semuanya dibungkus dengan ‘ bingkai yang sarat dengan ilmu ‘

3/ Ushul Fiqh dan Masalah Sosial.
Ushul Fiqh, bukan sekedar teori yang ngawang-ngawang di langit , bukan seperti orang yang hidup dimenara gading, jauh dari hiruk pikuk masyarakat dengan segala problematikanya. Ushul Fiqh adalah ilmu yang menyatu dengan masyarakat, berbaur dengan segala problematikanya, bahkan menawarkan ribuan, atau mungkin jutaan solusi yang sangat strategis dan relevan. Bagaimana tidak ? coba tengok umpamanya di dalam Bab : “ Dalil –dalil yang masih diperdebatkan “ kita temui dalil “ Al Urfu ‘ ( Adat istiadat atau kebiasaan ) di dalam suatu masyarakat. Ushul Fiqh adalah ilmu yang menghargai karya dan budaya masyarakat selama masih dalam koridor syareat.

4/ Ushul Fiqh dan Kemaslahatan Umat .
“ Masholih Mursalah “ adalah salah satu bab di dalam Ushul Fiqh yang membahas hal- hal yang berhubungan dengan kemaslahatan kehidupan manusia. Tidak berlebihan, kalau kita katakan bahwa tidak ada satupun fenomena kehidupan manusia yang lepas dari kontrol Ushul Fiqh. Mungkin kalau hanya ada satu bab ini saja dalam Ushul Fiqh, niscaya sudah cukup untuk memberikan kontribusi di dalam menciptakan maslahat kehidupan manusia.

5/ Ushul Fiqh dan Pandangan Masa Depan
Hal lain yang menarik dalam ilmu Ushul Fiqh adalah kemampuannya untuk memprediksi tentang masa depan, atau memperkirakan hal-hal yang akan terjadi, mempersiapkan sesuatu sebelum terjadi, mennyediakan payung sebelum turun hujan. Selanjutnya menentukan hukum ‘ preventif “ untuk jaga-jaga sebelum datangnya bencana dengan cara menutup semua jalan yang menuju ‘ kerusakan “ . Proses semacam ini di dalam Ilmu Ushul Fiqh terkenal dengan sebutan “ Sadd Al- Dzarai’ “ . Sebuah proses pengambilan hukum yang menekankan pandangan ke depan.

6/ Ushul Fiqh dan penghargaan terhadap ilmu dan ulama.
Kalau di dalam ranah politik, demokrasi yang selama ini dijadikan favorit para politikus sebagai alternatif solusi terhadap berbagai problematika bangsa… walaupun kenyataanya tidak lebih dari sebuah utopia yang tidak pernah dan tidak akan terwujud…demokrasi yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai ratu adil yang tidak pernah adil..salah satu kelemahannya adalah karena tidak pernah menghargai ilmu dan ulama. Iya.. sistem yang terbukti telah menyengsarakan banyak orang ini menyamakan orang-orang berilmu dengan orang-orang yang bodoh. Seorang Profesor yang belajar puluhan tahun lamanya, sehingga rambutnya rontok dan kepalanya menjadi botak disamakan suaranya dengan seorang pelacur dan pemabuk yang perkerjaannya hanya bersenang-senang mengumbar syahwat. Pandangan seperti ini, tidak akan didapat di dalam ilmu Ushul Fiqh. Para ulama, khususnya para fuqaha, yaitu orang-orang yang konsen di dalam proses pengambil hukum telah dihargai dengan penghargaan yang setinggi-tingginya. Hal ini terlihat secara gamblang di dalam “ Konsensus Para Ulama “ yang mempunyai otoritas tinggi dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun juga. Bahkan karena daya tawarnya yang begitu tinggi, oleh sementara kalangan diletakkan di atas teks-teks Al Qur’an dan Hadist yang keduanya masih sarat dengan penafsiran ( Dhanniyat Al Dalalat ) . Ini semua tidak berlaku bagi kelompok lain, yang tidak mempunyai keahlian di dalam merumuskan hukum, walaupun kelompok tersebut adalah kumpulan profesor dari segala bidang ilmu.

Pengertian Ilmu Fiqh

Fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yg bisa menjadi teropong keindahan dan kesempurnaan Islam. Dinamika pendapat yg terjadi diantara para fuqoha menunjukkan betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal utk kreativitas dan berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syari’ah yg bertujuan utk menjaga kelestarian lima aksioma yakni; Agama akal jiwa harta dan keturunan menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi dan tujuan yg jelas sehingga layak utk exis sampai akhir zaman.

Pengertian Fiqh Fiqh menurut EtimologiFiqh menurut bahasa berarti; faham sebagaimana firman Allah SWT “Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku.” Pengertian fiqh seperti diatas juga tertera dalam ayat lain seperti; Surah Hud 91 Surah At Taubah 122 Surah An Nisa 78 Fiqh dalam terminologi IslamDalam terminologi Islam fiqh mengalami proses penyempitan makna; apa yg dipahami oleh generasi awal umat ini berbeda dgn apa yg populer di genersi kemudian karenanya kita perlu kemukakan pengertian fiqh menurut versi masing-masing generasi;

Pengertian fiqh dalam terminologi generasi Awal Dalam pemahaman generasi-generasi awal umat Islam fiqh berarti pemahaman yg mendalam terhadap Islam secara utuh sebagaimana tersebut dalam Atsar-atsar berikut diantaranya sabda Rasulullah SAW “Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yg mendengar suatu hadist dariku maka ia menghapalkannya kemuadian menyampaikannya krn banyak orang yg menyampaikan fiqh kepada orang yg lbh menguasainya dan banyak orang yg menyandang fiqh dia bukan seorang Faqih.” Ketika mendo’akan Ibnu Abbas Rasulullah SAW berkata “Ya Allah berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir.” Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif ia berkata “Para ahli fiqihnya berkata kepadanya Adapun para cendekiawan kami Wahai Rasulullah ! tidak pernah mengatakan apapun.” Dan ketika Umar bin Khattab bermaksud utk menyampaikan khutbah yg penting pada para jama’ah haji Abdurrahman bin Auf mengusulkan utk menundanya krn dikalangan jama’ah bercampur sembarang orang ia berkata “Khususkan kepada para fuqoha .” Makna fiqh yg universal seperti diatas itulah yg difahami generasi sahabat tabi’in dan beberapa generasi sesudahnya sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu buku akidahnya dgn “al Fiqh al Akbar.” Istilah fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda dgn makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun krn dalam suatu hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan Rasulullah SAW bersabda “Dan akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur’an dan menyia-nyiakan norma-normanya banyak orang yg meminta tetapi sedikit yg memberi mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat serta memperturutkan hawa nafsunya sebelum beramal.” Lebih jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan diatas Shadru al Syari’ah Ubaidillah bin Mas’ud menyebutkan “Istilah fiqh menurut generasi pertama identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia dan aku tidak mengatakan fiqh itu sejak awal hanya mencakup fatwa dan hukum-hukum yg dhahir saja.” Demikian juga Ibnu Abidin beliau berkata “Yang dimaksud Fuqaha adl orang-orang yg mengetahuai hukum-hukum Allah dalam i’tikad dan praktek karenanya penamaan ilmu furu’ sebagai fiqh adl sesuatu yg baru.” Definisi tersebut diperkuat dgn perkataan al Imam al Hasan al Bashri “Orang faqih itu adl yg berpaling dari dunia menginginkan akhirat memahami agamanya konsisten beribadah kepada Tuhannya bersikap wara’ menahan diri dari privasi kaum muslimin ta’afuf terhadap harta orang dan senantiasa menasihati jama’ahnya.”

Pengertian fiqh dalam terminologi Mutaakhirin Dalam terminologi mutakhirin Fiqh adl Ilmu furu’ yaitu “mengetahui hukum Syara’ yg bersipat amaliah dari dalil-dalilnya yg rinci.Syarah/penjelasan definisi ini adalah - Hukum Syara’ Hukum yg diambil yg diambil dari Syara’ seperti; Wajib Sunah Haram Makruh dan Mubah.- Yang bersifat amaliah bukan yg berkaitan dgn aqidah dan kejiwaan.- Dalil-dali yg rinci seperti; dalil wajibnya sholat adl “wa Aqiimus sholaah” bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul Fiqh. Dengan definisi diatas fiqh tidak hanya mencakup hukum syara’ yg bersifat dharuriah seperti; wajibnya sholat lima waktu haramnya hamr dsb. Tetapi juga mencakup hukum-hukum yg dhanny seperti; apakah menyentuh wanita itu membatalkan wudhu atau tidak? Apakah yg harus dihapus dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup sebagiannya saja? Lebih spesifik lagi para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara’ yg furu dgn berlandaskan hujjah dan argumen.

Hubungan Fiqh dan Syari’ah Setelah dijelaskan pengertian fiqh dalam terminologi mutakhirin yg kemudian populer sekarang dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan antar Fiqh dan Syari’ah adalah Bahwa ada kecocokan antara Fiqh dan Syari’ah dalam satu sisi namun masing-masing memiliki cakupan yg lbh luas dari yg lainnya dalam sisi yg lain hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq disebut “‘umumun khususun min wajhin” yakni; Fiqh identik dgn Syari’ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yg benar. Sementara pada sisi yg lain Fiqh lbh luas krn pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yg salah sementara Syari’ah lbh luas dari Fiqh krn bukan hanya mencakup hukum-hukum yg berkaitan dgn ibadah amaliah saja tetapi juga aqidah akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu.Syariah sangat lengkap; tidak hanya berisikan dalil-dalil furu’ tetapi mencakup kaidah-kaidah umum dan prinsif-prinsif dasar dari hukum syara seperti; Ushul al Fiqh dan al Qawa’id al Fiqhiyyah.Syari’ah lbh universal dari Fiqh.Syari’ah wajib dilaksanakan oleh seluruh umat manusia sehingga kita wajib mendakwahkannya sementara fiqh seorang Imam tidak demikian halnya.Syari’ah seluruhnya pasti benar berbeda dgn fiqh.Syari’ah kekal abdi sementara fiqh seorang Imam sangat mungkin berubah.

Patokan-patokan dalam Fiqh Dalam mempelajari fiqh Islam telah meletakkan patokan-patokan umum guna menjadi pedoman bagi kaum muslimin yaitu:

1. Melarang membahas peristiwa yg belum terjadi sampai ia terjadi. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala “Hai orang-orang yg beriman ! janganlah kamu menanyakan semua perkara krn bila diterangkan padamu nanti kamu akan jadi kecewa ! tapi jika kamu menayakan itu ketika turunnya al-qur’an tentulah kamu akan diberi penjelasan. Kesalahanmu itu telah diampuni oleh Allah dan Allah maha pengampunlagi penyayang.” Dan dalam sebuah hadits ada tersebut bahwa Nabi Saw. telah melarang mempertanyakan “Aqhluthath” yakni masalah-masalah yg belum lagi terjadi.
2. Menjauhi banyak tanya dan masalah-masalah pelik. Dalam sebuah hadits di katakan “Sesungguhnya Allah membenci banyak debat banyak tanya dan menyia-nyiakan harta.” “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah disia-siakan dan telah menggariskan undang-undang maka jangan dilampui mengaharamkan beberapa larangan maka jangan dlannggar serta mendiamkan beberapa perkara bukan krn lupa utk menjadi rahmat bagimu maka janganlah dibangkit-bangkit!” “Orang yg paling besar dosanya ialah orang yg menanyakan suatu hal yg mulanya tidak haram kemudian diharamkan dgn sebab pertanyaan itu.”
3. Menghindarkan pertikaian dan perpecahan didalam agama. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala “Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah belah !” . Dan firmanNya “Janganlah kamu berbantah-bantahan dan jangan saling rebutan nanti kamu gagal dan hilang pengaruh!” . Dan firmanNya lagi “Dan janganlah kamu seperti halnya orang-orang yg berpecah-belah dan bersilang sengketa demi setelah mereka menerima keterangan-keterangan! dan bagi mereka itu disediakan siksa yg dahsyat.” Mengembalikan masalah-masalah yg dipertikaikan kepada Kitab dan sunah. Berdasarkan firman Allah SWT “Maka jika kamu berselisih tentang sesuatu perkara kembalilah kepada Allah dan Rasul.” . Dan firman-Nya “Dan apa-apa yg kamu perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah.” . Hal demikian itu krn soal-soal keagamaan telah diterangkan oleh Al-qur’an sebagaimana firman Allah SWT Dan kami turunkan Kitab Suci Al-qur’an utk menerangkan segala sesuatu.” Begitu juga dalam surah Al-An’am 38 An-Nahl 44 dan An-Nisa 105 Allah telah menjelaskan keuniversalan al Qur’an terhadap berbagai masalah kehidupan. Sehingga dgn demikian sempurnalah ajaran Islam dan tidak ada lagi alasan utk berpaling kepada selainnya. Allah SWT berfirman “Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu telah Ku cukupkan ni’mat karunia-Ku dan telah Ku Ridhoi Islam sebagai agamamu.” . Dan firman Allah SWT “Tidak ! Demi Tuhan ! mereka belum lagi beriman sampai bertahkim padamu tentang soal-soal yg mereka perbantahkan kemudian tidak merasa keberatan didalam hati menerima putusanmu hanya mereka serahkan bulat-bulat kepadamu.”